Urip iku mung sawang-sinawang
Hidup itu melihat dan dilihat.
Saya pikir
benar juga. Ketika pertama kali saya mendengar kalimat tersebut dari instruktur
di forum keilmuan sewaktu masih duduk di kelas 12. Kalimat berbahasa jawa
itupun tertancap dalam-dalam di otak untuk diingat.
Namanya juga manusia, terkadang punya sifat suka membandingkan dengan manusia
lainnya yang mereka anggap memiliki sesuatu yang lebih. Membandingkan nikmat
yang telah diberikan Allah misalnya harta, benda, kecantikan, dan sesuatu yang
nampak lainnya. Semakin bertambah usia, semakin saya menyadari bahwa apa yang
diinginkan manusia sifatnya tidak terbatas. Banyak yang harus dipenuhi dan
tujuannya terkadang untuk riya’. Banyak realita “kurang bersyukur” di masyarakat,
merasa apa yang telah didapatkan masih saja kurang, belum seperti tetangga
sebelah yang hidupnya mewah, terjamin, dan selalu memakai barang high class.
Hal ini pun pernah menghampiri saya, menginginkan kehidupan
orang lain terjadi pada kehidupan saya. Hal itu terjadi karena saya begitu
memimpikan sesuatu, merasa sudah mengerjakan apa yang seharusnya saya kerjakan
untuk mendapatkan impian saya, sudah mengorbankan waktu, pikiran, dan materi
untuk meraihnya, berpikir positif (optimis) bahwa saya bisa mendapatkannya.
Idealis! Ya, bisa disebut seperti itu.
Namun ternyata, hasilnya tidak sesuai harapan. Betapa sedih dan kecewa nya saya
pada waktu itu, tepat satu tahun yang lalu. Sedangkan teman saya, bisa dibilang
dia adalah the luckiest man on that day! Dia
mendapatkan apa yang saya impikan. Dan apa yang didapatkan sebenarnya bukanlah
prioritas nya dan merupakan suruhan orang tua. Tapi kenyataannya, ia
mendapatkannya. Oh, God, waktu itu
saya merasa down, apa yang saya
rencanakan berubah dalam sekejap. Merasa tak enak kepada orang tua dan diri
saya sendiri. Tapi saya sadar, bahwa sunnatullah yang saya lakukan masih kurang
dan teman saya pantas mendapatkan hal itu karena dia lebih capable daripada saya.
Selama beberapa bulan, saya masih belum bisa menerima hal yang
sudah terjadi pada saya meski orang tua selalu memberikan dukungannya pada
saya. Baru kali ini saya menjalankan sesuatu terhitung dalam waktu 3 bulan
dengan keadaan tidak ikhlas. Tau gimana rasanya? Ingin mundur tapi rasional nya
itu juga kurang tepat. Masih membandingkan dengan apa yang didapatkan teman
saya dan berandai-andai “seandainya saya
itu dia”. Saya pasti senang tidak terkira. Orang tua, kakek, nenek, saudara
saya pasti bangga kepada saya.
Sawang-sinawang,
saya rasa terjadi kepada siapapun yang merasa nikmat yang diberikan Tuhan dianggap masih kurang. Memandang orang lain mempunyai apa yang dia inginkan, dan menganggap dirinya lebih rendah daripada yang lain. Seiring berjalannya waktu, dengan melihat realitas yang ada, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, dan rasa syukur itulah yang menyebabkan saya berhenti membandingan kehidupan saya dengan teman saya itu.
saya rasa terjadi kepada siapapun yang merasa nikmat yang diberikan Tuhan dianggap masih kurang. Memandang orang lain mempunyai apa yang dia inginkan, dan menganggap dirinya lebih rendah daripada yang lain. Seiring berjalannya waktu, dengan melihat realitas yang ada, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, dan rasa syukur itulah yang menyebabkan saya berhenti membandingan kehidupan saya dengan teman saya itu.
Salah satu perubahan yang paling bermakna di dalam hidup
saya terjadi ketika saya memahami relasi antara perasaan syukur dan
kebahagiaan. Sebelumnya saya berpikir bahwa orang-orang yang bahagia adalah
orang yang bersyukur. Maksud saya, bagaimana tidak? Mereka memiliki semua
kebaikan yang bisa disyukuri.
Tak bisa dipungkiri bahwa terkadang kita merasa iri dengan
apa yang dipunya orang lain, memandang orang lain lebih beruntung daripada
kita, sehingga perasaan kurang bersyukur itu muncul. Sawang-sinawang dengan
kehidupan orang lain harusnya dijadikan sebagai motivasi agar tidak putus asa dalam
menjalani kehidupan yang kata petinggi microsoft tidak adil. “Life is not fair, get used to it”. Bukan
malah menjadikan kita iri dengan kehidupan orang lain. Lantas, yang harus kita
lakukan adalah, aftifkan rasa syukurmu!
Seringkali orang berusaha menjalani hidupnya dengan arah mundur: mereka
berusaha memiliki lebih banyak barang, atau lebih banyak uang, agar lebih bisa
melakukan apa yang mereka inginkan sehingga mereka akan lebih bahagia.
Sebenarnya yang benar adalah kebalikannya. Pertama-tama kita harus menjadi diri
kita yang sesungguhnya, lalu melakukan apa yang benar-benar perlu kita lakukan,
agar memiliki apa yang kita inginkan
-Margaret young-

Comments
Post a Comment